Kisah Inspiratif


Kisah Dua Kota

Seorang pelancong yang sedang mendekati sebuah kota besar bertanya pada seorang wanita yang duduk di tepi jalan,
"Seperti apa orang-orang di kota ini?"
"Bagaimana orang-orang di kota asalmu?" pertanyaan balik dari wanita itu. 
"Buruk sekali", jawab si pelancong. "Artinya, tak bisa dipercaya, menyebalkan dalam segala hal".
"Ah", kata si wanita, "Anda akan menemukan orang-orang di kota ini sama saja seperti mereka".

Baru saja pelancong pertama berlalu, satu pelancong lain berhenti dan juga mencari tahu tentang penduduk di kota itu. Kembali si wanita bertanya tentang orang-orang di tempat si pelancong tinggal.
"Mereka orang-orang yang baik, jujur, rajin, dan sangat murah hati. Saya sungguh menyesal harus meninggalkan kota itu", kata si pelancong kedua.
Lalu jawab si wanita bijaksana, "Maka Anda akan menemukan orang-orang yang sama di kota ini".

Sumber Artikel : Buku Chicken Soup for the Woman's Soul
Foto : mingko.typepad.com




Terburu-buru

“Pekerjaan akan menanti sementara Anda 
memperlihatkan pelangi kepada anak Anda, 
tetapi pelangi tak akan menanti 
sementara Anda bekerja”.


Aku sedang terburu-buru.
            Aku berlari lewat ruang makan kami dengan pakaian terbaikku, memusatkan perhatian agar siap untuk pertemuan pagi ini. Gillian, putraku yang berusia empat tahun, menari-nari sambil mendengarkan lagu tua kesayangannya “Cool” dari West Side Story.
            Aku terburu-buru, karena nyaris terlambat. Tetapi suatu suara kecil di dalam diriku berkata, Stop.
           Maka aku  pun berhenti. Aku melihat anakku. Aku meraih dan menggenggam tangannya, lalu memutar-mutarnya berkeliling. Anakku yang berusia tujuh tahun, Caitlin, masuk ke dalam orbit kami, lalu aku pun merengkuhnya. Kami berdansa jitterbug di sekeliling ruang makan dan ruang duduk. Kami tertawa dan berputar-putar. Apakah para tetangga bisa melihat kesintingan kami lewat jendela? Tak jadi soal. Lagu itu berakhir dengan meriah dan tarian kami pun berakhir bersamanya. Aku menepuk pantat mereka dan menyuruh mereka mandi.
            Mereka naik ke atas tangga, terengah-engah, tan tawa mereka menggema di dinding. Aku kembali ke urusanku. Aku sedang membungkuk untuk memasukkan kertas-kertas kerja ke dalam tas, ketika aku mendengar anakku yang lebih kecil bicara pada kakaknya, “Caitlin, bukankah Mama kita adalah yang terbaik?”
            Aku terpaku. Andaikan aku tadi terburu-buru dalam hidup ini aku pasti akan kehilangan saat itu. Ingatanku melayang ke piagam demi piagam dan diploma yang memenuhi dinding kerjaku. Tak ada piagam maupun penghargaan yang kuperoleh mampu menandingi yang satu ini: “Bukankah Mama kita adalah yang terbaik?”
            Anakku mengatakan hal itu pada usia empat tahun. Tak kuharapkan ia mengatakan hal itu pada usia 14 tahun. Tetapi pada usia 40 tahun, jika membungkuk di atas peti kayu untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku, aku ingin ia mengatakan hal itu lagi.
            Bukankah Mama kita adalah yang terbaik?
            Perkataan itu tak bisa dimasukkan ke dalam curiculum vitae-ku. Tetapi aku ingin itu dituliskan pada batu nisanku.

-Gina Barret Schlesinger-
Sumber Artikel : Buku Chicken Soup for the Woman's Soul
Foto :  jawaban.com




Si Ember dan Si Pipa

Dahulu kala di desa terpencil ada 2 orang bernama si Ember dan si Pipa.
Suatu ketika, desa mereka kekurangan air, sementara sumber mata air terdekat ada di bukit yang berjarak jauh sekali dari desa itu.
Kepala desa lalu menawarkan kerja pada si Ember dan si Pipa untuk mengambil air dari sumber air di bukit untuk dibawa ke tempat penampungan air di desa.

Mereka akan mendapatkan upah sebanyak air yang mereka bawa.

Mulai keesokan harinya si Ember dan si Pipa pergi ke bukit mengambil air dengan menggunakan ember, dan kembali berjalan kaki pulang ke desa untuk mengisi tempat penampungan air di desa, setiap harinya mereka pergi bolak balik ke bukit untuk mendapatkan lebih banyak uang.

Setelah berjalan beberapa hari, mereka mulai mengatur strategi agar dapat menghasilkan lebih banyak uang. Si Ember akhirnya memutuskan untuk menggunakan ember yang lebih besar sehingga dia dapat membawa lebih banyak air lagi. Sementara tidak demikian dengan si Pipa. Dia lebih memikirkan untuk membangun sistem pipa air yang dapat secara langsung menyalurkan air dari bukit ke desa.

Sejak saat itu, si Ember mendapatkan uang jauh lebih banyak. Sementara si Pipa malah mengurangi pendapatannya, karena dia hanya dapat membawa sedikit air dari bukit ke desa, dan dia menggunakan sisa waktunya untuk merencanakan dan membangun saluran pipa.
Si Ember sangat puas dengan hasil kerjanya, kini dia dapat membeli hewan ternak dan rumah yang lebih besar. Sementara si Pipa tetap hidup dalam kesederhanaan, karena dia tidak menghasilkan banyak uang.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Akhirnya selesailah saluran pipa yang dibuat oleh si Pipa.


Sudah bisa ditebak kan gimana akhir cerita ini?


Si Pipa kini mendapatkan uang berlimpah. Bahkan ketika dia tidak sedang berada di sekitar desa, saluran pipanya tetap menghasilkan uang untuk si Pipa tanpa kehadiran si Pipa. 
Sementara si Ember, semakin bertambahnya usia, semakin lama dia tidak sekuat dulu lagi untuk membawa banyak air. 


Diceritakan ulang oleh:
Dini Shanti, Co Founder Bisnis d'BC Network

Mendaftar Nama Domain GRATIS!